• Universitas Gadjah Mada
  • Sekolah Pascasarjana
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Simaster
Universitas Gadjah Mada Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
UNIVERSITAS GADJAH MADA
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Manajemen
    • Staf Pengajar
  • Akademik
    • Pengumuman
    • Pendaftaran
    • Kurikulum
    • Biaya Pendidikan
    • DOKUMEN AKADEMIK
  • Artikel
    • Abstrak Tesis
    • Berita
    • Kegiatan
    • Pojok Damai
  • Mahasiswa & Alumni
    • Mahasiswa
    • Alumni
      • Data Alumni MPRK
  • Beranda
  • Pojok Damai
  • Ruang Aman di Tengah Ancaman: Cerita tentang Solidaritas Komunitas Taekwondo

Ruang Aman di Tengah Ancaman: Cerita tentang Solidaritas Komunitas Taekwondo

  • Pojok Damai
  • 29 October 2025, 10.22
  • Oleh: mprk
  • 0

Menurut Caballero-Anthony (2015), konsep keamanan komunitas dalam kerangka keamanan manusia menekankan pentingnya perlindungan identitas, keamanan sosial, dan rasa aman masyarakat dari ancaman seperti konflik etnis, diskriminasi, dan marginalisasi. Namun, di banyak negara berkembang, khususnya kawasan ASEAN, perkembangannya masih terhambat oleh kesenjangan pembangunan, lemahnya demokrasi, serta dominasi negara dalam isu keamanan. Negara masih dianggap sebagai penanggung jawab utama keamanan warganya, tetapi pada faktanya tidak benar-benar melindungi kelompok rentan. Akibatnya, upaya untuk memajukan keamanan komunitas menjadi terbatas karena lemahnya penerapan hak asasi manusia, kebijakan regional yang tidak sejalan dengan praktik nasional, lemahnya tata kelola, serta kurangnya komitmen negara dalam melindungi warganya (Caballero-Anthony, 2015).

Pada tahun 2021, ketika saya menjadi senior di komunitas taekwondo Kabupaten Klaten, saya memiliki seorang junior, atlet kyorugi perempuan berusia sekitar 15 tahun yang duduk di bangku SMP. Ia dikenal sebagai atlet aktif, ceria, dan dekat dengan teman-teman di dojang, di sekolah maupun di rumah dengan orang tuanya. Namun, suatu hari ia tampak murung, mulai menjauh dari teman-teman, dan tidak lagi rutin berlatih. Awalnya saya mengira hal tersebut karena ia sedang fokus menghadapi ujian tengah semester, apalagi saya sendiri juga jarang hadir latihan karena tugas kuliah. Beberapa minggu kemudian, saya mendapat informasi dari pelatih bahwa ia sudah tidak lagi berlatih maupun masuk sekolah. Kami pun mencari tahu penyebabnya dengan bertanya kepada beberapa atlet lain, hingga akhirnya didapatkan informasi bahwa ia mengalami perundungan di sekolah karena statusnya sebagai atlet perempuan.

Beberapa hari kemudian, orang tuanya menemui pelatih dan menjelaskan bahwa anaknya dirundung, sehingga enggan keluar kamar selama beberapa hari. Orang tua tersebut kemudian meminta bantuan kepada pelatih dan saya selaku senior untuk membimbing anaknya agar kembali berlatih dan bersekolah. Jika dikaitkan dengan teori keamanan komunitas Caballero-Anthony (2015), kasus ini menunjukkan bahwa kasus atlet perempuan taekwondo yang dirundung di sekolah menunjukkan bentuk ancaman terhadap keamanan komunitas, karena perundungan merusak identitas, martabat, dan rasa aman individu. Dalam kerangka Caballero-Anthony (2015), ancaman komunitas tidak hanya berupa konflik etnis, tetapi juga diskriminasi dan marginalisasi yang membuat anggota merasa terisolasi dari lingkungannya. Ketika komunitas, seperti komunitas taekwondo, memberikan dukungan dan perlindungan kepada anggotanya, hal tersebut merupakan wujud nyata fungsi komunitas sebagai garda terdepan menghadapi ancaman non-militer yang sejalan dengan gagasan Caballero-Anthony (2015), bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga peran aktor sosial non-negara (Caballero-Anthony, 2015).

Sebagai atlet senior dan seorang perempuan yang pernah mengalami intimidasi karena latar belakang keyakinan saya yang dahulu Nasrani, saya merasakan kesedihan, ketakutan, dan sakit hati akibat perlakuan kelompok lain yang memperlakukan saya seakan bukan manusia. Karena pengalaman tersebut, saya merasa prihatin ketika mengetahui junior saya mengalami perundungan, sehingga saya berusaha merangkulnya agar dapat kembali percaya diri. Langkah pertama yang saya lakukan adalah menghubunginya melalui WhatsApp, dengan tujuan menciptakan ruang aman agar ia mau bercerita secara terbuka. Pada minggu pertama, saya hanya menanyakan kabar dan keadaannya hingga ia mulai nyaman untuk berbagi cerita. Di minggu kedua, saya mencoba membangkitkan kepercayaan dirinya melalui langkah kecil, seperti mendorongnya untuk datang ke dojang, berlatih, atau sekadar bercengkerama dengan teman-teman taekwondo. Perlahan ia kembali berlatih dan mampu bersosialisasi dengan senior, pelatih, serta rekan-rekannya. Lalu pada minggu berikutnya ia sudah memberanikan diri untuk berangkat sekolah seperti biasanya, tentunya dengan dorongan dan bimbingan komunitas Taekwondo yang bekerjasama dengan orang tua atlet untuk membawa kasus perundungan tersebut ke pihak sekolah. Di sisi lain, kami juga mengadakan forum bagi para atlet untuk mencegah terjadinya perundungan maupun kekerasan antar teman. Mengingat adanya kasus tersebut komunitas lebih peduli dengan kesehatan mental dan kenyamanan atlet untuk terus tumbuh dan berkembang tanpa adanya rasa takut karena prasangka buruk dari pihak luar. Dengan bimbingan komunitas, akhirnya anak tersebut tidak hanya berani bersosialisasi kembali, tetapi berhasil mendapatkan medali perak di Kejuaraan Taekwondo Internasional Open di Yogyakarta pada 4 Oktober 2025. Komunitas menanamkan pendidikan mental pemberani kepada para atlet, tetapi keberanian tersebut harus diarahkan dengan lebih baik, terutama di arena pertandingan, bukan diterapkan di ranah sosial.

Dalam perspektif teori keamanan komunitas menurut Caballero-Anthony (2015), pengalaman ini menunjukkan bahwa ancaman non-militer seperti diskriminasi dan perundungan dapat merusak identitas, martabat, serta rasa aman individu dalam komunitas. Respons komunitas taekwondo yang memberikan perlindungan, dukungan, dan ruang pemulihan merupakan wujud nyata dari keamanan komunitas, yaitu peran aktor non-negara dalam menjaga kerukunan dan kekompakan serta kesejahteraan anggotanya, sesuai dengan gagasan bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga lahir dari solidaritas komunitas (Caballero-Anthony, 2015).

Saya sangat setuju dengan gagasan Caballero-Anthony (2015), bahwa komunitas memiliki peran penting dalam melindungi anggotanya, terutama ketika negara tidak sepenuhnya mampu memberikan perlindungan. Menurutnya, keamanan tidak hanya bersifat top-down dari negara, tetapi juga harus dibangun secara bottom-up melalui partisipasi komunitas, karena merekalah yang paling memahami kebutuhan, kerentanan, dan ancaman secara langsung. Hal ini tampak jelas pada komunitas taekwondo, yang berperan sebagai aktor non negara dalam melindungi atlet dari kasus perundungan di sekolah. Meskipun negara memiliki aturan anti-bullying, perlindungan nyata dan langsung sering kali justru datang dari komunitas yang dekat dengan individu. Komunitas taekwondo bukan hanya sekadar tempat latihan, melainkan juga ruang aman bagi atlet untuk memperoleh dukungan sosial, motivasi, dan perlindungan dari stigma. Dengan membangun solidaritas dan rasa percaya diri, komunitas ini telah menjalankan fungsi keamanan komunitas sebagaimana dimaksud oleh Melly, yakni melindungi identitas, martabat, dan kesejahteraan anggotanya dari ancaman non-militer (Caballero-Anthony, 2015).

Saya teringat konsep keamanan personal dari UNDP (2022) yang dibahas pada pertemuan minggu lalu tentang keamanan personal. Laporan tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia dapat terwujud ketika manusia saling membangun solidaritas, melindungi satu sama lain, dan menjaga martabat bersama tanpa harus sepenuhnya bergantung pada negara (UNDP, 2022). Hal itu sejalan dengan pemikiran Caballero-Anthony (2015), mengenai keamanan komunitas yang menekankan peran aktor non-negara dalam melindungi identitas, martabat, dan kesejahteraan anggotanya dari ancaman non-militer, karena keamanan tidak hanya berasal dari negara tetapi juga lahir dari partisipasi dan solidaritas komunitas (Caballero-Anthony, 2015). Dengan demikian, baik teori Caballero-Anthony (2015) maupun pandangan UNDP (2022) menekankan bahwa keamanan manusia bertumpu pada kekuatan komunitas dan solidaritas sosial sebagai fondasi perlindungan nyata bagi kelompok rentan.

—

Elisa Cahya Kristiana adalah mahasiswa Minat Studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, angkatan 2025.

Artikel ini merupakan salah satu usaha MPRK UGM untuk mendukung SDGs nomor 3 tentang Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well Being) – SDGs nomor 5 tentang Kesetaraan Gender (Gender Equality) – SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh (Peace, Justice, and Strong Institutions)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • MPRK UGM Rampungkan Program Pengabdian Pendidik Perdamaian di SLB Negeri 2 Gunungkidul
  • Ruang Aman di Tengah Ancaman: Cerita tentang Solidaritas Komunitas Taekwondo
  • Melihat Orang Asli Papua dalam Refleksi Keamanan Komunitas
  • Dari Piring ke Politik: Refleksi Hari Pangan Sedunia
  • Dari Gizi ke Krisis: Ironi Keamanan Pangan dalam Program MBG
Universitas Gadjah Mada

Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada

Gd. Sekolah Pascasarjana UGM, Lantai 3, R. 302
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Telp. 0274-545598, 081326177519
Email : mprk@ugm.ac.id

mprk.ugm

© Universitas Gadjah Mada

BerandaProfilSejarahVisi & MisiStruktur ManajemenStaf PengajarAkademikPengumumanPendaftaranKurikulumBiaya PendidikanDOKUMEN AKADEMIKArtikelAbstrak TesisBeritaKegiatanPojok DamaiMahasiswa & AlumniMahasiswaAlumniData Alumni MPRK

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY