• Universitas Gadjah Mada
  • Sekolah Pascasarjana
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Simaster
Universitas Gadjah Mada Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
UNIVERSITAS GADJAH MADA
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Manajemen
    • Staf Pengajar
  • Akademik
    • Pengumuman
    • Pendaftaran
    • Kurikulum
    • Biaya Pendidikan
    • DOKUMEN AKADEMIK
  • Artikel
    • Abstrak Tesis
    • Berita
    • Kegiatan
    • Pojok Damai
  • Mahasiswa & Alumni
    • Mahasiswa
    • Alumni
      • Data Alumni MPRK
  • Beranda
  • Pojok Damai
  • Melihat Orang Asli Papua dalam Refleksi Keamanan Komunitas

Melihat Orang Asli Papua dalam Refleksi Keamanan Komunitas

  • Pojok Damai
  • 29 October 2025, 09.54
  • Oleh: mprk
  • 0


Suatu komunitas yang hidup dalam suatu masyarakat memiliki identitasnya masing-masing, yang pada akhirnya menjadi ciri khas dan pembeda antara satu komunitas dengan lainnya. Akan menjadi anomali ketika suatu komunitas kehilangan identitasnya namun di saat yang bersamaan komunitas tersebut masih diakui oleh masyarakat di tempatnya berada. Kejadian anomali seperti ini banyak terjadi di zaman ini, dan salah satu contoh komunitas yang akan dibahas di tulisan ini adalah komunitas Orang Asli Papua (OAP).

Pada pertemuan keenam mata kuliah Keamanan Manusia mengambil tema keamanan komunitas dengan mengacu pada jurnal karya Mely Caballero dan Anthony yang berjudul Community Security: Human Security at 21. Sebuah jurnal yang terbit kurang lebih setelah 20 tahun laporan UNDP 1994. Jurnal ini hadir untuk menjelaskan lebih dalam mengenai definisi keamanan komunitas yang sebelumnya masih diperdebatkan. Caballero dan Anthony tetap menggunakan tiga landasan teori yang dihasilkan dari laporan UNDP 1994. Yaitu freedom from fear, freedom from want, dan freedom to live in dignity.

Pemikiran Caballero dan Anthony hadir dengan definisi yang lebih tajam setelah berpijak dengan laporan UNDP 2009 yang memiliki definisi lebih detail dari pada laporan UNDP 1994. Pada UNDP 1994 mendefinisikan community security  sebagai perlindungan komunitas dari perpecahan, diskriminasi, kekerasan etnis, atau ancaman negara. Sedangkan pada UNDP 2009 mendefinisikannya lebih tajam, yaitu pada perlindungan kelompok rentan seperti etnis minoritas, perempuan, anak-anak, hingga ancaman sosial.

Caballero dan Anthony (2015) di dalam jurnalnya mengenalkan konsep keamanan komunitas (community security) yang berfokus pada perlindungan terhadap suatu komunitas untuk tetap utuh, tidak tercerai-berai, tidak kehilangan identitasnya dan aman dari konflik etnis atau agama. Secara garis besar tujuan dari keamanan komunitas adalah menjamin hak, identitas, dan partisipasi setara. Saya melihat bahwa OAP mengalami ketidakselarasan tujuan dari konsep keamanan komunitas. Mari membedah sejauh mana OAP tidak mendapatkan jaminan hak, identitas, dan partisipasi setara. Saya akan mengambil sagu sebagai contoh untuk membedah rentannya keamanan komunitas bagi OAP.

Sebagaimana diketahui bahwa tempat tinggal OAP terbagi menjadi dua wilayah, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. OAP dataran rendah mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, sedangkan OAP dataran tinggi mengonsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok. Sagu bagi orang OAP dataran rendah tidak hanya sekadar makanan pokok, lebih dalam dari itu, sagu merupakan identitas dari OAP dataran rendah. Sagu bagi OAP tidak hanya sekadar sumber pangan, namun juga memiliki nilai filosofis, spiritual, dan budaya. Nilai filosofis sagu terlihat dari ungkapan OAP yang berbunyi “Fi ra wali” yang berarti saguku kehidupanku. Nilai spiritual terekam dari kepercayaan OAP bahwa sagu adalah tumbuhan suci. Sedangkan dari nilai budaya bisa dilihat dari artefak yang ditemukan di kawasan danau Sentani, yang berisikan informasi bahwa sagu telah dikonsumsi sejak 30.000-50.000 tahun yang lalu.

Sejak 1980-an pemerintah Indonesia melakukan kebijakan penanaman padi di Papua dengan tujuan untuk swasembada beras nasional. Swasembada beras yang dilakukan tanpa pembacaan yang mendalam dari pemerintah menjadi salah satu faktor penyebab bagaimana OAP kehilangan identitasnya terhadap sagu. Ada tiga hal menurut analisis saya mengapa ini terjadi, Pertama, ketika pemerintah melakukan alih konversi lahan mengakibatkan banyak tanaman sagu yang dahulu menjadi sumber OAP hidup menjadi semakin berkurang dan tidak menutupi kemungkinannya untuk punah. Kedua, ketika pemerintah melakukan standarisasi pangan, mengakibatkan perubahan konsumsi makanan pokok OAP dari yang semula sagu menjadi beras. Ketiga, ketika pemerintah semakin memperluas alih konversi lahan banyak OAP yang kehilangan tempat tinggal asli mereka.

Hilangnya identitas sagu bagi orang Papua bukan hanya sekadar hilangnya budaya, lebih dari itu hal tersebut bisa menyebabkan penyakit kekurangan gizi. Seperti dalam laporan yang disajikan oleh Kompas pada 14 Desember 2022 dengan judul “Survei Kompas: Beras dan Mi Instan Membelenggu Keberlangsungan Pangan Papua” Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa banyak balita di daerah tempat OAP mengalami alienasi terhadap sagu terkena tengkes. Hal ini terjadi karena karena ketika nasi sudah menjadi makanan pokok tidak dibarengi dengan konsumsi gizi yang seimbang selayaknya dahulu OAP dengan sagunya. Sebelum ada nasi, OAP akan memakan sagu – yang merupakan sumber karbohidrat –  dibarengi dengan memakan ulat sagu yang berada di dalam pohon sagu. Protein tinggi yang dimiliki ulat sagu membuat gizinya tercukupi ketika dimakan bersamaan dengan sagu.

Ketika dahulu sagu didapati dengan mudah oleh OAP dengan hanya memasuki hutan, sekarang mereka harus mengalami kenyataan bahwa hutan tempat dahulu sagu berada sudah hilang, dan di beberapa tempat, OAP sudah menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok,  yang mengakibatkan OAP ketika ingin membeli beras harus dihadapkan dengan realita bahwa biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada mengonsumsi sagu. Jika dilihat menggunakan segitiga kekerasan dari Galtung (1996), maka akan ditemukan fakta bahwa kekerasan langsung kepada OAP terjadi dalam bentuk paksaan dari pemerintah untuk mengonsumsi beras, kekerasan kultural terjadi dalam bentuk pemerintah yang menghilangkan sagu secara sengaja maupun tidak sengaja yang berakibat pada alih ketergantungan dari sagu ke beras, dan kekerasan struktural terjadi dalam bentuk stigma masyarakat yang melabeli OAP tidak modern karena masih mengonsumsi sagu dibandingkan beras.

Jika Caballero dan Anthony (2015) mengatakan bahwa tidak ada pembangunan tanpa keamanan, dan tidak ada keamanan tanpa pembangunan. Maka berkaca pada kasus OAP yang hilang identitasnya, pembangunan seharusnya dilakukan dengan pembacaan yang holistik, seperti yang dikenalkan oleh Gesper dan Gomez (2015) pada konsep keamanan personal. Dalam kasus OAP mungkin pemerintah akan lebih berhati-hati dalam bertindak ketika mengetahui bahwa keamanan komunitas menyangkut juga keamanan personal, dan keamanan pangan. Caballero dan Anthony (2015) juga mengatakan bahwa keamanan masyarakat itu tentang menjaga identitas bersama suatu masyarakat. Maka melihat dari kasus OAP akan ditemukan bahwa keamanan masyarakat di Indonesia sudah terancam. Pemerintah seharusnya sadar bahwa kedaulatan bangsa yang selama ini digaungkan di berbagai tempat hanyalah ilusi semata, karena ada komunitas yang terancam keamanannya.

Jika dibedah sejauh mana OAP tidak mendapatkan jaminan hak, identitas, dan partisipasi setara. Maka akan ditemukan bahwa OAP tidak mendapatkan jaminan hak dalam menentukan pangan, tidak mendapatkan jaminan identitas karena tidak diutamakan oleh pemerintah, dan tidak mendapatkan jaminan partisipasi yang setara karena ketidakadilan dalam mengakses pangan. Pada akhirnya yang paling bisa diandalkan dalam mencipakan keamanan komunitas adalah komunitas itu sendiri beserta komunitas-komunitas lain yang paham dengan kondisi komunitas yang sedang terancam. Sudah seharusnya setiap komunitas di dalam suatu masyarakat saling mengenal lebih dalam antar komunitas supaya terjamin dan terjaga kohesi sosial yang sudah tercipta.

—

Muhammad Andrean Abdurrahman Alhabsy adalah mahasiswa Minat Studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, angkatan 2025.

Artikel ini merupakan salah satu usaha MPRK UGM untuk mendukung SDGs nomor 2 tentang Tanpa Kelaparan (Zero Hunger) – SDGs nomor 1 tentang Tanpa Kemiskinan (No Proverty) – SDGs nomor 10 tentang Mengurangi Ketimpangan (Reduced in Equalities) – SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh (Peace, Justice, and Strong Institutions)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • MPRK UGM Rampungkan Program Pengabdian Pendidik Perdamaian di SLB Negeri 2 Gunungkidul
  • Ruang Aman di Tengah Ancaman: Cerita tentang Solidaritas Komunitas Taekwondo
  • Melihat Orang Asli Papua dalam Refleksi Keamanan Komunitas
  • Dari Piring ke Politik: Refleksi Hari Pangan Sedunia
  • Dari Gizi ke Krisis: Ironi Keamanan Pangan dalam Program MBG
Universitas Gadjah Mada

Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada

Gd. Sekolah Pascasarjana UGM, Lantai 3, R. 302
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Telp. 0274-545598, 081326177519
Email : mprk@ugm.ac.id

mprk.ugm

© Universitas Gadjah Mada

BerandaProfilSejarahVisi & MisiStruktur ManajemenStaf PengajarAkademikPengumumanPendaftaranKurikulumBiaya PendidikanDOKUMEN AKADEMIKArtikelAbstrak TesisBeritaKegiatanPojok DamaiMahasiswa & AlumniMahasiswaAlumniData Alumni MPRK

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY