• Universitas Gadjah Mada
  • Sekolah Pascasarjana
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Simaster
Universitas Gadjah Mada Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
UNIVERSITAS GADJAH MADA
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Manajemen
    • Staf Pengajar
  • Akademik
    • Pengumuman
    • Pendaftaran
    • Kurikulum
    • Biaya Pendidikan
    • DOKUMEN AKADEMIK
  • Artikel
    • Abstrak Tesis
    • Berita
    • Kegiatan
    • Pojok Damai
  • Mahasiswa & Alumni
    • Mahasiswa
    • Alumni
      • Data Alumni MPRK
  • Beranda
  • Pojok Damai
  • Dari Piring ke Politik: Refleksi Hari Pangan Sedunia

Dari Piring ke Politik: Refleksi Hari Pangan Sedunia

  • Pojok Damai
  • 16 October 2025, 13.34
  • Oleh: mprk
  • 0

Sumber: linisehat.com

Pangan tidak lagi sekadar urusan dapur. Ia juga menjadi urusan politik dan identitas, bahkan sampai ke isi piring kita. Setiap sendok nasi yang kita suap pun tidak sepenuhnya netral. Di dalamnya tersimpan kebijakan, sejarah, dan relasi kuasa yang membentuk bagaimana dan untuk siapa yang berhak menentukan apa yang disebut “makanan layak.” Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober, kita diingatkan kembali bahwa kelaparan dan malnutrisi masih menjadi tantangan jutaan orang di dunia. Hari ini, isu pangan tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai persoalan produksi, pangan sebagai cermin dari keadilan sosial dan tanggung jawab negara.

Robert Bailey (2014) menegaskan bahwa masalah pangan global bukanlah akibat kekurangan sumber daya, tetapi kegagalan tata kelola pemerintahan. Ia juga menyatakan bahwa dunia sebenarnya memiliki cukup makanan untuk semua orang, namun, jutaan orang masih kelaparan. Lebih lanjut, menurutnya, sekitar 60% dari korban kelaparan kronis adalah perempuan, dan 80% lainnya adalah masyarakat pedesaan. Mereka yang berada di pinggiran sistem ekonomi dan politik adalah yang paling sering diabaikan.

“Food insecurity can have many proximate causes such as weather or economic events, but ultimately it can always be traced back to government failures” (Bailey, 2014, hal. 9). Pernyataan ini mengingatkan, bahwa kebijakan publik–pemerintah memiliki peran menentukan dalam menjamin keamanan pangan. Menurut Marxis dalam Bailey (2014), kelaparan bahkan dianggap sebagai bentuk kekerasan struktural (structural violence), hasil dari ketimpangan sistem ekonomi global. Berarti pangan mencerminkan sejauh mana negara dan masyarakat global mampu menegakkan keadilan ekonomi dan tanggung jawab moral terhadap setiap orang–rakyatnya. Kunci keamanan pangan tidak hanya pada ketersediaan bahan makanan, tetapi juga pada akuntabilitas, pemerataan akses, dan reformasi kebijakan publik yang berpihak kepada mereka yang paling rentan.

Kita bisa belajar dari sejarah. Tetapi kita pun membuat sejarah. Kita pernah melihat pola serupa pada masa Orde Baru, swasembada beras menjadi ukuran kemakmuran dan legitimasi negara. Pemerintah saat itu menjalankan Revolusi Hijau dengan membangun Bulog, meluncurkan Inpres Desa, menggulirkan program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intentifikasi Massal (Inmas) untuk mendorong produksi pertanian (Prabowo & Gischa, 2022). Namun, keberhasilan tersebut juga melahirkan masalah dan konsekuensi standar gizi (beras) yang seragam di Indonesia. Padahal, pangan lokal sangat melimpah seperti sagu, jagung, umbi-umbian, dan lainnya memiliki nilai gizi tinggi dan berperan penting dalam ketahanan pangan tiap daerah.

Ketika negara kembali menggaungkan cita-cita swasembada di banyak daerah di Indonesia, tentu itu semangat yang patut diapresiasi. Menurut saya yang paling penting adalah memastikan bahwa kemandirian pangan tidak berarti keseragaman pangan. Pembangunan pangan yang berkelanjutan seharusnya menghargai keanekaragaman sumber pangan lokal dan mendorong masyarakat menjadi lebih mandiri tanpa kehilangan identitas kuliner–pangannya. Hough (2015) menegaskan bahwa keamanan pangan tidak dapat dicapai secara terpisah, ia menuntut kolaborasi antara negara, lembaga, dan komunitas masyarakat.

Isu pangan terasa relevan di Indonesia hari ini. Sejak Januari 2025, negara meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah, sekaligus memperkuat ketahanan pangan. MBG bermaksud sebagai upaya positif negara untuk memastikan tidak ada anak yang belajar dalam keadaan lapar. Karena program besar dan pertama, pasti akan menghadirkan tantangan (transparansi, pengawasan mutu, dan partisipasi publik). Namun, kasus keracunan massal di Bandung Barat dengan lebih dari seribu korban, mengingatkan kita bahwa kebijakan baik sekalipun memerlukan sistem pelaksanaan yang kuat (Putri, 2025).

Bagi saya, titik paling genting dari ketahanan pangan justru terjadi ketika sistem pasok gagal hadir dan dapur harus bertahan sendiri. Rasa aman di meja makan pun perlahan menghilang. Pada akhirnya, dunia memang memiliki cukup pangan untuk semua, tetapi politik dan ekonomi global membuat distribusinya timpang. Dalam memperingati Hari Pangan Sedunia, kita perlu berefleksi, bahwa makan dengan aman dan layak bukan hanya kebutuhan tapi juga tanggung jawab negara. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar “apakah kita sudah makan?” tetapi “siapa yang memastikan kita bisa atau tidak bisa makan?”

—

Fajriatun Nisa Islami adalah mahasiswa Minat Studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, angkatan 2025.

Artikel ini merupakan salah satu usaha MPRK UGM untuk mendukung SDGs nomor 10 tentang Berkurangnya Kesenjangan (Reduced Inequalities) – SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (Peace, Justice, and Strong Institutions) – SDGs nomor 5 tentang Kesetaraan Gender (Gender Equality) – SDGs nomor 3 tentang Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-being) – SDGs nomor 17 tentang Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (Partnerships for the Goals).

 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • Dari Piring ke Politik: Refleksi Hari Pangan Sedunia
  • Dari Gizi ke Krisis: Ironi Keamanan Pangan dalam Program MBG
  • Penerimaan Mahasiswa Baru Magister Perdamaian & Resolusi Konflik (MPRK) UGM Semester Genap 2025/2026 Resmi Dibuka
  • Refleksi Kemanusiaan ala Romo Mangun di Bantaran Kali Code
  • Aktor-Aktor Keamanan Manusia: Peran Kritis Masyarakat Sipil dalam Melindungi dan Memperkuat Hak Asasi
Universitas Gadjah Mada

Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada

Gd. Sekolah Pascasarjana UGM, Lantai 3, R. 302
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Telp. 0274-545598, 081326177519
Email : mprk@ugm.ac.id

mprk.ugm

© Universitas Gadjah Mada

BerandaProfilSejarahVisi & MisiStruktur ManajemenStaf PengajarAkademikPengumumanPendaftaranKurikulumBiaya PendidikanDOKUMEN AKADEMIKArtikelAbstrak TesisBeritaKegiatanPojok DamaiMahasiswa & AlumniMahasiswaAlumniData Alumni MPRK

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY