
Menu MBG salah satu SDN di Mampang, Depok, Jawa Barat viral di medsos. Warganet ramai menyoroti menu MBG yang berisi pangsit hingga kentang rebus. (dok Istimewa). Sumber : detikedu
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan asupan gizi dan mendukung proses belajar anak-anak sekolah di Indonesia. Namun, cita-cita tersebut berbanding terbalik dengan tragedi pahit di lapangan. Serangkaian insiden keracunan massal yang terus bertambah dan meluas, seperti di Klaten hingga Karanganyar (Ryanthie, 2025a; Ryanthie, 2025b), mengubah program ini dari solusi menjadi masalah. Peristiwa ini bukanlah sekadar kecelakaan teknis, melainkan sebuah gambaran dari kegagalan sistemik yang mendalam. Dengan menggunakan lensa analisis keamanan pangan yang dipaparkan oleh Robert Bailey (2014) dan Peter Hough (2015), refleksi ini akan membahas bagaimana pilar-pilar fundamental keamanan pangan telah diabaikan dan legitimasi moral pemerintah yang dipertaruhkan.
Runtuhnya Pilar Pemanfaatan dan Keamanan Pangan
Untuk memahami besarnya kegagalan program MBG, penting untuk melihat definisi keamanan pangan yang diakui secara global. Keamanan pangan tercapai ketika “semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi” (Bailey, 2014, hlm. 188). Definisi ini didasarkan pada empat pilar utama: ketersediaan pangan (availability), akses terhadap pangan (access), pemanfaatan gizi dan keamanan (utilization and safety), serta stabilitas (stability).
Dari permukaan, program MBG terlihat berhasil memenuhi dua pilar pertama. Makanan disediakan dalam jumlah yang direncanakan (ketersediaan) dan diberikan secara gratis kepada siswa, sehingga mereka memiliki akses ekonomi terhadapnya. Namun, program ini mengalami kegagalan fatal pada pilar ketiga, yaitu pemanfaatan dan keamanan. Kasus keracunan yang terus bermunculan di berbagai daerah (Mardianti, 2025) adalah bukti tak terbantahkan bahwa makanan yang disediakan tidak aman untuk dikonsumsi. Bailey (2014) menegaskan bahwa makanan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit dan malnutrisi, yang pada akhirnya merusak kapasitas individu untuk hidup sehat. Dengan demikian, program MBG secara ironis justru menciptakan kondisi ketidakamanan pangan akut bagi para penerimanya, di mana makanan menjadi sumber petaka, bukan gizi.
Kegagalan Pemerintah: Pengabaian Sistemik dan Agenda Politis
Bailey (2014) secara lugas menyatakan bahwa akar dari berbagai masalah ketidakamanan pangan, baik yang bersifat kronis maupun akut, adalah kegagalan pemerintah (government failure). Dalam konteks MBG, kegagalan ini termanifestasi dalam dua bentuk, pengabaian (neglect) dan kebijakan yang merugikan (penalization).
Kegagalan karena pengabaian terlihat jelas dari lemahnya sistem pengawasan dan kontrol kualitas. Insiden keracunan yang terus-menerus terjadi menunjukkan adanya kelalaian dalam memastikan standar kebersihan, proses pengolahan, hingga distribusi makanan. Di sisi lain, kegagalan karena kebijakan yang merugikan tampak lebih halus. Sebagaimana dikemukakan oleh Cahyadi (2025), program ini pada dasarnya keliru jika dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan atau stunting, karena masalah-masalah tersebut bersifat multidimensional. Kebijakan ini juga menunjukkan adanya prioritas yang tidak tepat, seperti temuan adanya perlakuan khusus (privilege) bagi institusi tertentu seperti Polri dalam pelaksanaan program (Shabrina, 2025), yang menimbulkan pertanyaan tentang keadilan. Penggunaan bahan baku impor seperti kedelai, menurut Laksmi Adriani Savitri, seorang peneliti di Research Center of Democratic Economy Universitas Gadjah Mada (komunikasi pribadi, 3 Oktober 2025), juga menunjukkan bagaimana kebijakan ini secara tidak langsung merugikan petani lokal. Praktik ini sekaligus mencerminkan adanya ketergantungan pangan (food dependency) pada pasar global yang membuat konsep kedaulatan pangan nasional menjadi rapuh, sebuah kondisi yang bertentangan dengan prinsip ketahanan pangan sejati (Bailey, 2014, hlm. 189).
Hak atas Pangan dan Martabat Manusia yang Terinjak
Peter Hough (2015), mengacu pada pendekatan hak (entitlement approach) yang digagas oleh Amartya Sen, menjelaskan bahwa keamanan pangan adalah persoalan hak asasi, bukan sekadar bantuan sosial. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak warganya dalam mengakses pangan yang layak (Hough, 2015, hlm. 241).
Terjadinya keracunan massal dalam sebuah program berskala nasional merupakan bukti nyata pelanggaran terhadap hak tersebut.
Perspektif ini didukung oleh dr. Tan Shot Yen (2025) yang menekankan bahwa program ini menyangkut keselamatan anak dan tidak bisa dianggap sebagai proyek biasa. Di tengah krisis ini, respons beberapa pejabat yang terkesan meremehkan dampak insiden justru sangat kontras dengan penderitaan nyata yang dialami korban dan keluarganya. Sikap ini berlawanan dengan argumen Laksmi Adriani Savitri (komunikasi pribadi, 3 Oktober 2025), yang menyatakan bahwa “anak adalah martabat kita, apabila negara meracuni anak-anak kita, itu berarti penghinaan terhadap martabat kita, dan ini adalah pelanggaran HAM.” Pernyataan ini secara tegas mengangkat isu keracunan dari masalah teknis menjadi krisis moral dan hak asasi.
Rekomendasi: Mengembalikan Martabat dalam Kebijakan Pangan
Kasus keracunan yang terus meluas menuntut respons yang lebih dari sekadar pertemuan seremonial. Respons yang dibutuhkan harus bersifat transformatif dan mengakar pada prinsip keamanan pangan. Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi konkret perlu dipertimbangkan. Pertama, pemerintah harus segera memberlakukan penghentian sementara (moratorium) program secara nasional. Selama moratorium, perlu dilakukan audit menyeluruh oleh tim independen yang terdiri dari ahli pangan, BPOM, dan akademisi. Hasil audit terhadap seluruh rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan baku hingga distribusi, harus dipublikasikan secara transparan.
Kedua, pengawasan tidak bisa lagi hanya bersifat dari atas ke bawah. Perlu dibentuk komite pengawas di tingkat sekolah atau kecamatan yang beranggotakan perwakilan orang tua, guru, dan petugas kesehatan setempat. Komite ini harus diberi wewenang untuk melakukan inspeksi mendadak dan memiliki jalur pelaporan yang independen. Ketiga, sebagaimana yang muncul dalam temuan terbaru, usulan untuk mengubah skema program menjadi bantuan tunai perlu dipertimbangkan secara serius (Shabrina, 2025). Opsi ini sejalan dengan entitlement approach dari Sen, karena secara langsung memberdayakan keluarga untuk meningkatkan hak dan kapasitas mereka dalam mengakses pangan yang aman, ketimbang bergantung pada sistem distribusi negara yang terbukti gagal.
Penutup
Kasus MBG memberikan pelajaran pahit bahwa upaya mencapai keamanan pangan tidak bisa berhenti hanya pada pemenuhan pilar ketersediaan dan akses, melainkan harus kokoh berdiri di atas fondasi keamanan dan gizi. Lebih dari sekadar kegagalan logistik, keracunan MBG adalah cerminan dari bagaimana niat baik sebuah kebijakan dapat berubah menjadi pengabaian terhadap hak hidup ketika pelaksanaannya tidak berlandaskan pada martabat manusia. Pada akhirnya, ketika makanan yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi ancaman, maka yang dipertaruhkan bukan lagi sekadar keberhasilan sebuah program, melainkan legitimasi moral negara itu sendiri.
—
Mariano Chrisanto Nataleo Ombo adalah mahasiswa Minat Studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, angkatan 2025.
Artikel ini merupakan salah satu usaha MPRK UGM untuk mendukung SDGs nomor 2 tentang Tanpa Kelaparan (Zero Hunger) – SDGs nomor 3 tentang Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-being) – SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (Peace, Justice, and Strong Institutions).